Keiko Takeya membawakan tari Passion
Keiko Takeya pernah datang ke Surakarta pada 1993. Ia menampilkan sebuah repertoar tari yang bukan saja indah, namun sarat makna. Dong Feng, judul tari itu, merupakan karya tari modern dengan ruh Jepang. Bukan karena ada Butoh di dalamnya, namun lebih dari itu, Keiko mengangkat vokabuler gerak-gerak tarian tradisional Jepang sebagai idiom visualisasi gagasannya.

Passion, karya Keiko Takeya
Semula, aku mengira Dong Feng sebagai salah satu jenis tarian tradisional Jepang, atau mirip dengan Langendriyan dalam khazanah seni tari Jawa, khususnya gaya Surakarta. Belakangan baru kutahu, Keiko termasuk salah satu seniman tari yang hampir selalu menggunakan ikon-ikon tradisi sebagai materi garapan-garapannya.

Fuji-Musume, tarian tradisional Jepang diperankan oleh Terushi Bando
Tiga belas tahun berlalu, bulan lalu, Keiko kembali hadir di Indonesia. Ia berkeliling ke berbagai kota di Indonesia seperti Surakarta, Yogyakarta, Tegal, Jakarta dan Bandung. Bedanya, dia tak membawakan karya tunggal. Ia seperti membawa misi pertukaran budaya. Beberapa jenis tari tradisional Jepang dia pertunjukkan pula, sekaligus untuk memperkenalkan kepada publik Indonesia. Kiyomoto, misalnya, merupakan salah satu jenis tarian yang pada masa Kaisar Edo (1603-1867) selalu meramaikan festival rakyat di sana.

Kiyomoto, diperankan oleh Mitateru Bando
Satu hal yang mengagetkan, Passion yang diciptakan dan dimainkan sendiri oleh Keiko tak sekuat Dong Feng yang diciptakannya 13 tahun lalu. Mungkin ia beranjak tua, sehingga staminanya tak seprima dahulu. Atau barangkali ia sudah berubah. Setidaknya, nuansa Jepang yang dulu melekat kuat pada Dong Feng, kini sudah terasa hambar.